PUBLIC SPEAKING VS STORYTELLING
Saya sering mengajar Public Speaking di kantor-kantor. Biasanya, karena tuntutan pekerjaan. Ada juga ingin “keren” bicara lancar di depan publik. Dan, ada sebagian orang yang merasa Public Speaking bisa menyelesaikan 60% dari permasalahan di kantor. Yang terakhir ini, lucu sebenarnya.
Saya pernah mengajar seorang Leader untuk bisa Public Speaking. Mengajar beliau ini menyenangkan. Rasa percaya dirinya luar biasa. Penguasaan materinya tidak diragukan. Bahasa tubuhnya elegan, disertai vokal yang berwibawa.
Namun, banyak anak buah beliau yang “melengos tidak peduli” waktu sang Leader di panggung. Apa yang salah ya?
Saya pun curi-curi kesempatan cari tahu pendapat para anak buah. Jawabannya menarik.
“Bagus sih, tapi gue koq gak tertarik mbak…”
“Keren sih, tapi saya gak tau kenapa target naik tiap tahun? Nyebelin!”
“Cakep sih, tapi jujur gue lupa dia tadi ngomong apa…”
Sampai saya melihat trend baru di youtube channel TED TALKS.
Yang nonton banyak anak Millenial dan Gen Z.
Topiknya pun sulit. Tapi fans setia Ted Talks adalah anak-anak muda.
Dalam sebuah kelas, saya bertanya pada partisipan milenial, soal TED TALKS.
Jawabannya…
“Menarik banget mbak, cara berceritanya…”
“Ada “a-ha moment” mbak, soalnya dia tuh bercerita bukan baca paparan…”
“Saya dapet “take away” nya, karena ceritanya menarik.”
Ternyata, “Storytelling” buat milenial “betah” nonton Ted Talks.
Ada apa antara Millenial dan Storytelling?
Sejak saat itu saya sadar, bukan “keren” nya dalam Public Speaking yang penting.
Tapi “Storytelling” nya, yang harus nempel di hati. Biar audiens paham, mereka harus ngapain.