MESIN SIMULATOR KEHIDUPAN
Awal masa pandemi di tahun 2020, setiap hari jam 11:00 pagi, saya melakukan storytelling melalui platform Live Instagram. Jumlah penontonnya kadang banyak, kadang sedikit. Tidak masalah buat saya.
Saat pandemi, saya yang dewasa saja rasanya jenuh setengah mati menghadapi hari-hari sunyi di rumah. Ingin keluar bergaul bebas. Apalagi anak2? Jika rumahnya besar, mereka masih bisa main, bergerak dan melakukan kegiatan kreatif. Tapi, jika rumahnya mungil? Apa yang bisa mereka lakukan? Apalagi yang tinggal di apartemen.
Saya ingin membawa dunia “outdoor” ke dalam dongeng saya. Menjadi kupu2! Terbang bersama. Rentangkan tangan ke kanan dan ke kiri! Kepakan sayap, lalu terbang tinggi… lalu terbang rendah… lalu berhenti di pucuk bunga. Saya dikirimi foto2 anak2 meniru kupu2 terbang. Lain waktu, saya ajak anak2 ke lautan luas, dan berenang keliling dunia. Tangan lurus ke depan, dan ayooo dayung…. Awas! Ada karang, belok kanan! Anak2 senang, dan saya pun puas. Setiap habis mendongeng, saya sering melamun di jendela rumah, kapan anak2 bisa menikmati dunia “outdoor” lagi?
Banyak Direct Message Instagram saya yang berisi titipan2 pesan untuk dongeng esok hari. Supaya anak2 rajin doa, minum vitamin, jadi anak sopan, dll. Saya hanya baca, tidak saya jawab dan tidak juga saya turuti.
Saya hanya ingin membawa anak2 menikmati dunia outdoor, ketika terkunci pandemi. Karena, membebaskan imajinasi anak ketika pandemi menurut saya saat itu, lebih penting. Walau dikekang karena pandemi, mereka masih bisa terbang tinggi, menyebrang lima benua dan ngobrol dengan matahari. Imajinasi ini jangan mati.
Buat saya, storytelling adalah mesin simulator kehidupan seorang anak. Apa yang mereka belum hadapi dan alami, bisa mereka rasakan melalui storytelling. Jadi, ketika dewasa, mereka sudah handal menghadapi berbagai permasalahan hidup. Karena mereka sudah punya file “cara menghadapi hidup” di dalam kepala mereka. File itu dikirim melalui storytelling. Ketika dewasa mereka sudah tahu cara buat keputusan yang benar.