BRAND STORY & AUTHENTICITY
Ketika ojol, alias Ojek Online masuk dalam dunia bisnis di Indonesia, saya tidak tertarik sama sekali. Paling cuma gimik aja, pikir saya.
Pada suatu hari, saya membaca kisah seorang pengemudi ojol bercerita tentang kehidupan kerja di kantor. Situasi kantor sudah tidak asik dan gaji juga tidak naik. Lalu, ia pilih jadi ojol. Ternyata penghasilannya hampir sama seperti kerja di kantor. Bahkan ia sekarang bisa mengatur hari liburnya dengan merdeka.
Keesokan hari nya, saya mulai mengamati pengemudi ojol dengan seksama. Ada rasa ingin kenal lebih dekat dengan mereka. Ini murni akibat storytelling yang saya baca. Sehingga, waktu saya kepepet harus mengirimkan sebuah dokumen penting, saya mulai order ojol untuk mengantarkan. Ternyata pelayanannya memuaskan!
Tentu saja, dalam perjalanan waktu, tidak semua ojol bekerja sempurna. Tapi itulah, karena sudah tersentuh dengan storytellingnya, hati terlanjur cinta. Saya menurunkan ekspektasi yang ketinggian. Tetap setia, dan tetap berharap mereka semakin baik.
Satu saja storytelling dengan cepat merubah hati saya menjadi ingin “bonding” alias ingin berhubungan langsung dengan ojol. Lalu otomatis saya punya trust alias rasa percaya dan cepat jatuh cinta (dan cepat memaafkan).
Kisah pengemudi ojol, menurut saya sangat otentik banget. Jarang saya dengar orang yang berani meninggalkan pekerjaannya lalu jadi pengemudi ojek. Biar bagaimanapun citra pekerja kantoran kan lebih “keren”?
Storytelling dia pun sangat relevan dengan situasi kerja masa kini. Stress di tempat kerja, penghargaan terhadap karyawan menurun dan gaji segitu-gitu aja. Aduh, ini gue banget….!
Jadi, kalau kalian lagi mikirin Brand Story untuk produk kalian selalu ingat soal “authenticity” alias story nya harus otentik. Bukan asal jiplak dari story milik produk tetangga. Kalau sudah otentik, pasti jadi relevan. Relevan itu artinya sesuai dengan jaman dan keadaan kita. Pikirkan Brand Story kalian, mulai hari ini juga!