SIAPA STORYTELLER TERBAIK?
Saya selalu menemukan pasangan-pasangan muda dalam workshop storytelling. Lucunya mereka kadang bersaing untuk jadi storyteller favorit anak2 mereka.
Berdasarkan buku2 yang saya baca, biasanya storyteller favorit anak-anak adalah para pria. Di Indonesia saja, lebih banyak storyteller pria ketimbang perempuan, bukan?
Mengapa?
Pria cenderung lebih sabar, santai dan tidak malu untuk lucu. Sementara itu, para ibu cenderung melakukan storytelling kurang fokus. Pikirannya kemana-mana. Perempuan kan cenderung “multi tasking”. Jadi lagi storytelling, bisa sambil mikir kerjaan kantor yang belum selesai. Anak peka sekali untuk hal semacam ini. Belum lagi, para ibu menyisipi 1001 nasihat yang rumit. Nasihat boleh, tapi satu saja pesan yang disampaikan dengan santai.
Seorang ibu mengeluh soal suaminya. Suaminya kalau storytelling itu tidak tertata. Logika cerita tidak ada. Tidak ada “moral of story”. Tidak ada tokoh variatif. Selalu tokoh utamanya adalah si Kangguru yang meloncat loncat keliling dunia. Namanya si Uu. Repotnya, anaknya selalu pilih sang ayah untuk storytelling tiap malam. Sang ibu jadi bete banget!
15 tahun kemudian, saya berjumpa lagi dengan sang ibu di mall. Dia cerita anak anaknya sudah kuliah di Bandung. Dan, ia berkata storytelling tentang si Uu inilah yang selalu diingat anak-anaknya jika dalam situasi sulit. Kalau mereka sedang menghadapi masalah, mereka selalu berkata, “What would Uu do, if he faces this problem?”. Atau kalau mereka lagi kangen rumah di Jakarta, mereka selalu mengulang kisah lucu si Uu untuk menghibur diri.
Jadi, jelas banget ya…. Storyteller yang baik adalah adalah sosok yang bisa santai, tidak “jaim”, mampu mengemas cerita jadi ringan dan menyenangkan. Para ibu bisa banget jadi seperti ini. Hempaskan “moral of story” yang berat, dan jadilah sahabat anak-anak.
Lalu, kapan bisa beri nasihat “moral of story”?
Baby steps, please…
Pahami dahulu karakter anak, dan bungkus “moral of story” dengan cara menyenangkan menyesuaikan karakter anak.
Selamat mencoba!