STORYTELLING & STORYSELLING PENTING?
Setiap saya memberi training Ilmu Komunikasi, pasti teman teman saya berkata, “Oh… itukan soft-skill ya?” Kata “Soft Skill” kadang buat orang menganggap ilmu ini mudah dan tidak penting-penting amat. Apakah benar demikian?
Atau, jangan-jangan, Ilmu Komunikasi itu “susah banget”, tapi buru-buru dikasih label “soft skill”. Biar tidak terlalu diutamakan?
Ada sebuah pengalaman berharga yang pernah saya hadapi. Saya dipanggil oleh sebuah perusahaan yang bermasalah dengan Tim Sales nya. Penjualan menurun, berdasarkan data statistik. Ketika saya berjumpa dengan Tim Sales, saya sedikit lega, karena mereka punya rasa percaya diri yang tinggi. Motivasi untuk “jualan” nya juga baik. Network nya luas. Product Knowledge nya juga ngelotok hapal! Sampai titik dan koma nya persis seperti di brosur.
Ketika role-play, saya baru sadar, ternyata mereka hanya mengucapkan kembali hapalan dari Product Knowledge. Reaksi pembeli tidak dipikirin. Waktu pembeli menawar harga, mereka menangkis dengan kalimat yang itu-itu saja. Ditambah gaya “ngotot kejar target”. Capek juga dengernya.
Tidak ada basa basi yang buat kita rileks.
Tidak mau “mengemas” Product Knowledge jadi “storytelling” yang menyentuh.
Tidak ada “jeda” untuk dengar “storytelling” dari pihak pembeli.
Tidak mau membuat intonasi yang lebih “nyaman di telinga”.
Tim Sales memang melakukan Komunikasi cara berjualan. Namun mereka mengabaikan “hati” sang pembeli. Padahal sang “hati” inilah yang menggerakkan pembeli untuk buka dompet. Hati bergerak jika tersentuh “storytelling” yang menarik. Bukan brosur yang dibacakan keras-keras.
Jadi, jangan-jangan Ilmu Komunikasi ini susah. Tapi ingin dibuat gampang. Hafalkan brosur. Beres! Yang sulit dalam Ilmu Komunikasi adalah membuka “hati” pembeli, agar sepakat dengan kita, lalu beli produk. Kuncinya, adalah a touching storytelling!